Mentari Muharram
REDAKSI EHYAL STDI IMAM SYAFI’I JEMBER – “Dunia bukan sebuah utopia. Tetap teguh dalam kesabaran. Insyaallah di hari pembalasan kita akan melihat buah dari hasil kerja keras kita,” Basit.
Kebanyakan yang terjadi pada anak-anak muda zaman sekarang, munculnya sedikit jerawat, segaris luka, maupun setitik noda hitam di wajah mampu membuat mereka tidak percaya diri atau berujung frustasi. Mereka bergerak cepat untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan segala macam perawatan yang menghabiskan biaya sangat mahal.
Berbeda dengan Basit, hal itu hanya sebagian kecil dari perhatiannya. Karena Basit adalah pemuda yang mengidap penyakit Epidermolisis Bulosa beberapa tahun yang lalu, yakni kondisi genetik yang menyebabkan munculnya kulit menjadi rapuh dan mudah melepuh. Penyakit ini ditandai dengan timbulnya ruam, luka, atau bula pada kulit. Lepuhan dapat terjadi akibat cedera ringan, paparan cuaca panas, gesekan atau garukan, hingga menyebabkan nyeri yang ekstrem. Nama lain dari penyakit ini adalah Butterfly Baby, sehingga menyebabkan penderitanya memiliki kulit serapuh sayap kupu-kupu.
Proses perawatan penyakit ini menjadi ujian tersendiri bagi Basit. Selama berjam-jam dia harus duduk untuk mengoleskan salep; memotong perban; kemudian membalut luka setiap hari. Semua itu bertujuan untuk menjaga kondisi kulitnya supaya tetap stabil. Jikalau tidak dilakukan setiap hari, lukanya akan bernanah dan mengeluarkan bau yang tidak sedap. Karena luka-lukanya tersebar dimana-mana, maka anggota badannya tampak seperti balutan kulit kepompong pada ulat.
Pada hari yang diperlukan untuk mandi, ia memerlukan waktu selama enam jam untuk perawatan kulit, sedangkan pada hari biasa ia memerlukan empat jam lamanya. Sungguh betapa beratnya hari-hari yang dilalui oleh Basit, karena setiap hari ia menghabiskan waktu berjam-jam di dalam kamar dengan membungkukkan badan untuk merawat tubuhnya.
Sembari membalutkan luka, terkadang Basit memandang orang-orang yang sedang berjalan dan berlari dari jendela kamarnya. Mereka yang bebas melakukan aktivitas-aktivas di luar rumah tanpa kendala. Tentu, Basit sangat merindukan kenikmatan berjalan dengan kedua kakinya sebelum menderita penyakit ini.
Dari kesabaran atas ujian yang ditimpanya dan keikhlasannya dalam menjalani kehidupan ini, menjadi salah satu alasan temannya berkunjung ke rumahnya dan menanyakan beberapa pertanyaan untuk Basit. Temannya mendokumentasikan percakapan tersebut berupa video kemudian diupload pada YouTube sehingga video tersebut beredar luas di media sosial.
“Seberapa penting keimananmu dalam kondisimu yang seperti ini?” tanya temannya yang pernah pergi umroh bersama Basit beberapa tahun yang lalu.
“Aku mengira jika tanpa keimanan, terus terang, apa gunanya hidupku tanpa keimanan? Mungkin dari dulu aku sudah bunuh diri, karena tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Apa gunanya harus menjalani kesakitan dalam ujian, melihat orang lain menderita karena diriku, jam demi jam, hari demi hari, jikalau tanpa keimanan?” jawab Basit.
Islam memberikan kepadanya sebuah tujuan dalam menjalani kehidupan. Hingga menjadi sebab dirinya harus tegar, bahwa dunia hanyalah kesenangan semata dan ujian bagi orang-orang yang beriman. Terlebih Basit berkeinginan untuk bertemu wajah Allah ﷻ di surga kelak, akan tetapi hal tersebut tidak akan didapatkan kecuali dengan sebab memperbanyak dan memperbagus ibadah selama di dunia. Maka sekaranglah ia tengah berlomba agar tetap istiqamah sampai akhir hayat.
Basit juga bercerita jika dua tahun yang lalu, kakaknya yang bernama Milad telah berpulang menghadap Rabb Semesta Alam. Sama seperti Basit, dahulu Milad juga menderita penyakit EB. Keadaan dan penderitaanya jauh lebih mengkhawatirkan dan menyakitkan dibanding dengan Basit. Ketika kakaknya telah meninggal dunia, ia merasakan kesedihan yang sangat mendalam, karena harus berjuang sendirian melawan penyakit yang menimpanya. Basit telah belajar dari kakaknya sesuatu yang sangat berharga, yaitu besarnya usaha dan kesabaran Milad dalam menjalani penyakit.
“Ketika aku mencoba renungkan seberapa besar penderitaan dan usahanya. Seperti, Allah memilih kami berdua. Hanya memilih kami berdua dari semua makhluk-Nya. Dan Allah memberi kami nilai lebih. Di hari pembalasan InsyaAllah khususnya bagi Milad, semoga Allah memberikan kedudukan yang tinggi atas kesabarannya yang telah aku lihat sendiri” ungkap Basit ketika ditanyai mengenai kakaknya.
Kedua orang tua Basit tidak pernah mengeluh dalam mengurusnya. Bahkan mereka berusaha membuat kehidupannya senormal mungkin seperti orang lain pada umumnya. Sedangkan bagi Basit, menormalkan kehidupan adalah sesuatu yang sangat disyukurinya. Semua itu tidak terlepas dari dukungan semangat dari keduanya.
“Jika kamu bisa memberi satu hal untuk keluarga, apa yang akan kamu beri?” tanya temannya.
“Aku berdoa untuk kedua orang tuaku, semoga Allah memberikan mereka surga Firdaus Al-A’la. Jika mereka berada di dalamnya itu sudah lebih dari apapun jua. Dan Allah mengumpulkan kami kembali di surga-Nya. Karena menurutku, semua ini adalah ujian dan aku bisa merasakan bahwa ini semua adalah ujian. Aku bersyukur kepada Allah yang telah membuatku sadar bahwa ini adalah ujian. Dan kehidupan yang sejati; kehidupan yang benar-benar membuatku bisa hidup bersama keluargaku adalah kehidupan akhirat, insyaallah. Aku tak pernah melupakan itu.”
Temannya terharu mendengar semua cerita dari Basit. Bagaimana ia tetap istiqamah di jalan-Nya dalam tantangan hidup yang harus dijalaninya setiap hari. Kemudian temannya itu mendoakan Basit, “Semoga Allah ﷻ mengangkat derajat Basit menjadi golongan orang-orang yang bersabar.”
***
Cobalah kita menerung, setelah membaca kisah Basit yang sangat menyentuh. Kisah yang didokumentasikan dan tersebar ke media sosial, benar-benar menjadi pengingat kita untuk pandai-pandai bersyukur. Anggota badan kita yang utuh serta tiada penyakit yang kambuh seharusnya menjadi sebab bahwa kita tidak pantas untuk mengeluh. Maka, nikmat Allah yang manakah yang kita dustakan? Nyatanya kita telah tersibukkan oleh jerawat, segaris luka, dan bintik-bintik hitam di wajah hingga sukses membuat kepanikan. Sayangnya kita tidak terlalu memperhatikan noda-noda dosa di dalam hati yang kian mengeras.
Seharusnya, pelajaran dari kisah Basit ini sebagai tamparan keras bagi orang-orang yang selalu tidak merasa puas dengan apa yang telah didapatkan. Sebagai contoh, orang yang tidak memiliki kaki iri terhadap pejalan kaki; pejalan kaki iri terhadap pengguna sepeda unta; pengguna sepeda unta iri terhadap pengendara motor; pengendara motor iri dengan pemilik mobil Suzuki; pemilik mobil Suzuki iri dengan pemilik mobil Lamborghini; dan pemilik mobil Lamborghini iri dengan pemilik helikopter pribadi.
Semuanya tidak lepas dari rasa ingin memiliki, akan terus menjalar jika tidak memutus rasa iri atas kepunyaan orang lain. Akan berhenti jika tidak mengikuti hawa nafsu dan bisikan setan yang keji. Salah satu ciptaan Allah ﷻ adalah kaki atau anggota tubuh yang lain, kita mendapatkannya dengan gratis, multifungsi lagi. Tapi mengapa kita lupa dalam mensyukurinya? Jika kita disuruh memilih antara hilangnya kedua kaki dengan diberikan uang dan emas murni, kita pasti akan memilih kedua kaki. Sebab kepunyaan Allah tidak bisa terhitung dengan materi. Tetapi, karena gemerlap dunia yang menipu, justru manusia menjadi kufur nikmat dari banyaknya nikmat yang telah Allah berikan, kecuali hamba-hamba-Nya yang telah Allah beri petunjuk.
Salah satu contohnya adalah kisah Nabi Ayyub ‘alaihissalam. Nabi Allah yang diuji mengalami penyakit kulit sehingga membuat beliau hanya bisa berbaring di kasur dan terusir dari masyarakat. Beliau tidak mengeluh atau protes kepada Allah karena hilangnya beberapa fungsi anggota tubuhnya, justru beliau sangat bersyukur karena Allah masih menyelamatkan hati dan lisan dari penyakitnya, yang mana beliau gunakan untuk banyak berdzikir pada Allah ﷻ.
***
Sungguh, seseorang akan mendapat ujian sebanding kualitas imannya. Maka tak heran bagaimana Allah menguji kesabaran orang-orang salih semasa hidupnya. Mereka ditimpa kemiskinan, kesengsaraan, penyakit yang berat, siksaan yang kejam, dan musibah yang lainnya. Bagaimana dengan kita? Ujian yang menimpa kita tidaklah seberat mereka, lantas, pantaskah kita berkeluh kesah dalam menjalani kehidupan?
Maka bersabarlah atas ujian yang menimpa kita dan bersyukurlah atas kenikmatan-kenikmatan yang telah kita dapatkan. Sebagaimana keimanan orang-orang yang salih dalam menghadapi ujian sehingga kita bisa mengambil hikmah dari kehidupannya. Yakinlah, dengan sebab ujian dan musibah, derajat seorang hamba akan ditinggikan; dosa dan kesalahan seorang hamba berguguran; dan menjadi sebab masuk ke dalam surga.
Catatan Kaki:
Kisah nyata, diambil dari, “Sebuah Kisah Kesabaran Pemuda Kepompong.” YouTube, diunggah oleh Konsultasi Islam, 5 Desember 2019.
“Epidermolisis-bulosa.” Halodoc.com, kesehatan.
Sumber gambar: http://www.unsplash.com
Leave a Reply