by: Azra Nur Hafidzah-Smait Mutiara Islam
Era digitalisasi dan teknologi yang semakin canggih, membawa perubahan besar dalam kehidupan kita. Banyak sekali manfaat dan kemudahan yang bisa kita peroleh. Namun, di sisi lain teknologi ini juga dapat menjadi boomerang yang berbahaya. Di era digital yang serba cepat ini, media sosial seperti WhatsApp, Instagram, X (Twitter), YouTube, TikTok, dan Facebook telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Algoritma yang sengaja dirancang untuk mempertahankan perhatian pengguna selama mungkin, yang sering kali mengganggu keseimbangan antara kehidupan di dunia maya dan dunia nyata. Tanpa disadari, kita sering menghabiskan waktu berjam-jam berselancar di media sosial tanpa tujuan yang jelas, yang pada akhirnya menyebabkan banyak waktu terbuang sia-sia. Selain itu, media sosial telah berubah menjadi ajang pamer pencapaian dan kesempurnaan hidup, menciptakan standar kehidupan yang tidak realistis.
Banyak orang merasa tertekan untuk menampilkan versi terbaik diri mereka demi memenuhi ekspektasi sosial yang dibangun oleh algoritma media sosial. Ketergantungan dan distraksi terhadap notifikasi, likes, dan komentar di media sosial dapat memicu perilaku adiktif yang berhubungan dengan pelepasan dopamin di otak. Dopamin, yang dikenal sebagai hormon kebahagiaan, dilepaskan secara instan ketika seseorang mendapatkan validasi sosial, sehingga menimbulkan efek ketagihan yang mirip dengan kecanduan zat tertentu. Hal ini dapat memicu perasaan tidak cukup baik (imposter syndrome), rendah diri hingga gangguan mental seperti depresi dan kecemasan sosial.
Ketika seseorang terbiasa dengan dopamin instan dari media sosial, mereka cenderung mengalami kesulitan dalam menikmati aktivitas yang membutuhkan usaha dan kesabaran, seperti membaca buku, belajar keterampilan baru, atau berinteraksi secara langsung dengan orang lain.
ai Dengan Psikologi Perspektif
Islam
Oleh: Azra Nur Hafidzah
Smait Mutiara Islam
Era digitalisasi dan teknologi yang semakin canggih, membawa perubahan besar dalam kehidupan kita. Banyak sekali manfaat dan kemudahan yang bisa kita peroleh. Namun, di sisi lain teknologi ini juga dapat menjadi boomerang yang berbahaya. Di era digital yang serba cepat ini, media sosial seperti WhatsApp, Instagram, X (Twitter), YouTube, TikTok, dan Facebook telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Algoritma yang sengaja dirancang untuk mempertahankan perhatian pengguna selama mungkin, yang sering kali mengganggu keseimbangan antara kehidupan di dunia maya dan dunia nyata. Tanpa disadari, kita sering menghabiskan waktu berjam-jam berselancar di media sosial tanpa tujuan yang jelas, yang pada akhirnya menyebabkan banyak waktu terbuang sia-sia. Selain itu, media sosial telah berubah menjadi ajang pamer pencapaian dan kesempurnaan hidup, menciptakan standar kehidupan yang tidak realistis.
Banyak orang merasa tertekan untuk menampilkan versi terbaik diri mereka demi memenuhi ekspektasi sosial yang dibangun oleh algoritma media sosial. Ketergantungan dan distraksi terhadap notifikasi, likes, dan komentar di media sosial dapat memicu perilaku adiktif yang berhubungan dengan pelepasan dopamin di otak. Dopamin, yang dikenal sebagai hormon kebahagiaan, dilepaskan secara instan ketika seseorang mendapatkan validasi sosial, sehingga menimbulkan efek ketagihan yang mirip dengan kecanduan zat tertentu.
Hal ini dapat memicu perasaan tidak cukup baik (imposter syndrome), rendah diri hingga gangguan mental seperti depresi dan kecemasan sosial. Ketika seseorang terbiasa dengan dopamin instan dari media sosial, mereka cenderung mengalami kesulitan dalam menikmati aktivitas yang membutuhkan usaha dan kesabaran, seperti membaca buku, belajar keterampilan baru, atau berinteraksi secara langsung dengan orang lain.
Situasi ini semakin diperparah dengan fenomena doomscrolling, yakni kebiasaan terus-menerus menggulir informasi negatif yang dapat memperburuk kecemasan. Dalam jangka panjang, paparan berlebihan terhadap konten negatif atau membandingkan diri dengan kehidupan orang lain di media sosial dapat menyebabkan gangguan psikologis yang serius. Termasuk gangguan kecemasan sosial, depresi, dan menurunnya tingkat kepuasan hidup.
Maka, penting bagi kita untuk lebih bijak dalam menggunakan media sosial dan menerapkan kebiasaan digital yang sehat. Dalam Islam, keseimbangan hidup dan kesehatan mental sangat dijaga. Penggunaan media sosial yang berlebihan dapat mengganggu keseimbangan ini, baik secara mental, spiritual, maupun sosial. Islam memberikan panduan hidup agar umatnya senantiasa berada dalam keadaan yang sehat dan sejahtera, sebagaimana firman Allah:
مَنْ عَمِلَ صَٰلِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)
Prinsip-Prinsip Islam dalam Menghadapi Digitalisasi
1. Qana’ah (Rasa Cukup) vs. Media Sosial sebagai Ajang Pamer
Salah satu dampak negatif media sosial adalah fenomena comparison trap, di mana seseorang terus membandingkan hidupnya dengan kehidupan orang lain yang terlihat sempurna di dunia maya. Islam mengajarkan sikap qana’ah, yaitu merasa cukup dan bersyukur atas apa yang dimiliki. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
ليس الغنى عن كثرت العرض ولكن الغنى غنى النفس
“Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta, tetapi kekayaan (yang sebenarnya) adalah kaya hati.” (HR. Bukhari, no. 6446 dan Muslim, no. 1051)
Dengan memiliki qana’ah, seseorang akan lebih tenang dan tidak mudah terpengaruh oleh pencitraan media sosial.
2. Menjaga Keseimbangan Waktu
Sering kali kita tertipu oleh waktu luang, sehingga kita gunakan untuk hal yang sia-sia, seperti mengulir sosial media secara berlebihan. Islam mengajarkan pentingnya mengelola waktu dengan baik. Menghabiskan waktu secara berlebihan di media sosial dapat menyebabkan kelalaian (ghaflah), yang dapat menghambat produktivitas dan ibadah. Oleh karena itu, seorang Muslim dianjurkan untuk mengisi waktunya dengan hal-hal bermanfaat seperti membaca Al-Qur’an, menuntut ilmu, atau membantu sesama.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَالْعَصْرِۙ ١ اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ ٢ اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِࣖ ٣
“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian, kecuali orangorang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.” (QS. Al-‘Asr: 1-3)
3. Kesehatan Mental dalam Islam
Tanpa di sadari, bermain media sosial menuntut kita untuk sempurna. ekspektasi yang tidak sesuai realita, memicu tanggapan negatif dari orang-orang. Sehingga menimbulkan stress dan kecemasan bagi pengguna. Rasulullah صلى الله عليه وسلم banyak memberikan nasihat tentang bagaimana menghadapi kecemasan dan stres. Salah satu caranya adalah dengan bertawakkal kepada Allah dan memperbanyak dzikir. Firman Allah:
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ ٱللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلْقُلُوبُ
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.’’ (QS. Ar-Ra’d: 28)
Ketika media sosial menimbulkan perasaan cemas atau tidak percaya diri, maka dzikir, membaca Al-Qur’an, dan shalat dapat menjadi solusi spiritual yang menenangkan hati.
Penelitian telah menunjukkan bahwa membaca Al-Qur’an bermanfaat untuk psikologis dan fisiologis manusia. Al-Qur’an bukan hanya sebagai pedoman hidup manusia, melainkan juga menjadi penyembuh dan obat rohani.
4.Menjaga Lisan dan Jari di Media Sosial
Media sosial mempermudah penyebaran informasi, tetapi juga membuka peluang untuk ghibah (menggunjing), namimah (adu domba), dan fitnah. Rasulullah bersabda:
من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فاليقل خيرا أو اليصمت
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari, no. 6018 dan Muslim, no. 47)
Dalam bermedia sosial, penting bagi seorang Muslim untuk berhati-hati dalam berkomentar dan membagikan informasi, agar tidak menyebarkan hoaks atau menyakiti perasaan orang lain.
5. Detoks Digital dan Meningkatkan Koneksi dengan Allah
Ketergantungan pada media sosial dapat mengurangi kualitas ibadah dan introspeksi diri. Dalam Islam, konsep uzlah (menyepi untuk mendekatkan diri kepada Allah) bisa diterapkan dalam bentuk detoks digital, yaitu mengurangi konsumsi media sosial untuk sementara waktu. Rasulullah صلى الله عليه وسلم sendiri sering menyendiri di Gua Hira sebelum menerima wahyu.
Dengan mengurangi ketergantungan pada media sosial dan menggantinya dengan aktivitas yang lebih bermanfaat, kita bisa meningkatkan kualitas hubungan dengan Allah, diri pribadi, dan sesama manusia. Kesimpulan: Media sosial adalah alat, bukan tujuan. Islam tidak melarang penggunaannya, tetapi menekankan agar kita menggunakannya dengan niat yang baik dan batasan yang sehat.
Dengan menerapkan prinsip qana’ah, menjaga keseimbangan waktu, berdzikir, serta menjaga lisan dalam bermedia sosial, kita dapat memanfaatkan teknologi ini secara bijak dan tetap menjaga kesehatan mental serta spiritual. Sebagaimana sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم:
خير الناس أنفعهم للناس
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. At Thabrani, dan dishahihkan oleh Albani dalam Shahihul Jami’, no. 3289)
Leave a Reply