Cognitive Behavioral Theory on Social Media Consumer: Evaluasi Diri Sebagai Seorang Muslim Terhadap Virtual Toxicity di Era Digital

by: Annisa Nasywa Almeyra – Universitas Sebelas Maret

Hakikat Makhluk Sosial dan Urgensi Kebutuhan Atas Media Sosial

Manusia merupakan makhluk yang hakikatnya terhubung dengan tindakan sertaaktivitas sosial baik sadar maupun tidak sadar. Di era digital ini, pola untuk mewadahi fakta tersebut berkembang pesat melalui suatu platform bernama media sosial. Mediasosial berperan secara masif dalam mendukung interaksi manusia, hal ini tentunya berkaitan dengan perkembangan teknologi serta budaya yang tiada habisnya. Manfaat

terkait adanya media ini tentu menambah efisiensi d fleksibilitas dalam lapisan kehidupan masyarakat. Meskipun begitu, maraknya penggunaan media sosial tidak menutup hadirnya pengaruh buruk sebagai bentuk eksplorasi yang dihasilkan dari keberjalanan media sosial itu sendiri. Media sosial tetap dapat memberi pengaruh negatif pada keberlangsungan hidup manusia, salah satunya dalam aspek kesehatan mental.

Media sosial secara tidak langsung menjadi ranah bagi masyarakat untuk terbiasa membandingkan hidup dengan orang lain dan merasa tidak cukup. Beberapa hal yang sering ditemukan terkait pengaruh media sosial adalah tingginya angka kecemasan dan depresi.

World Health Organization (2024) menekankan bahwa peningkatan penggunaan sosial media di kalangan remaja juga memengaruhi tingginya presentase pada resiko gangguan depresi dan kognitif, yang dapat secara tidak langsung menimbulkan kecacatan. Hal ini didukung dengan adanya sebuah penelitian terdahulu menggunakan metode Natural Language Process (NLP) yang mengungkapkan bahwa lebih dari 95% postingan yang terdapat di media sosial dapat menyebabkan depresi (Sadri, 2023).

Cognitive Behavioral Theory dan Peran Agama Terhadap Filtrasi Media Sosial

Dalam teori psikologi terdapat sebuah representasi dari bagaimana masyarakat menyikapi suatu fenomena ataupun informasi yang biasa disebut Cognitive Behavioral Theory. Cognitive Behavioral Theory pada dasarnya berfokus pada bagaimana suatu pikiran memengaruhi tindakan seseorang (Sadri, 2023). Sebagai gambaran, hal ini terjadi ketika seseorang kesulitan melepaskan persepsi positif hingga cenderung fokus pada hal negatif dalam interaksi di media sosial atau dalam kasus ini biasa disebut virtual toxicity (Satata & Novianto, 2023).

Kini media sosial yang harusnya memberikan output bersosialisasi yang baik berubah menjadi sebuah racun dan ajang tampilan kehidupan yang kurang bermanfaat. Sebagai bagian dari umat muslim, salah satu bentuk dalam menyikapi fenomena terkait virtual toxicity itu sendiri adalah dengan melihat melalui kacamata atau persepsi agama, yaitu agama Islam.

Agama merupakan pondasi yang dijadikan acuan dalam menghadapi atau mencari solusi dari sebuah masalah tertentu. Dalam Islam, seluruh pengaruh negatif yang didapat dari media sosial dapat disinyalir melalui tazkiyatun nafs (membersihkan diri). Hal ini mengacu pada kemampuan diri untuk mendistorsi pemikiran negatif dan fokus pada kebaikan yang ada pada media sosial, seperti meningkatkan kemampuan personalia, sehingga tidak sibuk membandingkan diri dengan orang lain (Zubair & Raqib, 2020).

Al-Qur’an juga menyebutkan tentang urgensi dalam membersihkan diri sebagai cara yang baik untuk menyempurnakan kemampuan berpikir positif manusia, sebagaimana dalam surat Asy-Syams ayat 9-10 yang berbunyi:

قَۡد أَفۡلََحَ منَ زَّكىَٰها ٩َوَقۡدَخاَبَ منَ دَّسىَٰها ﴾١٠ ﴿

“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya”

Solusi Terhadap Virtual Toxicity Sebagai Seorang Muslim di Era Digital

Berdasarkan firman Allah yang termaktub pada surat Al-Baqarah ayat 11:

﴾ …في قلوبهم مرض﴿

“Dalam hati mereka ada penyakit”

merujuk pada ketidakmampuan hati manusia untuk suci secara sempurna. Media sosial yang kini seringkali berperan sebagai racun untuk diri sendiri maupun orang lain, tentunya hanya menghadirkan ketidakbermanfaatan.

Ajang memamerkan diri maupun berburu kekaguman melalui komentar dipercaya sebagai suatu interaksi sosial yang marak namun sejatinya merusak, lalu berujung pada rasa hasad atau iri. Oleh karena itu, dipaparkan secara eksplisit dalam hadist oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم, di mana beliau bersabda:

ُكم َوق هَو فَ نُُ َلَم روا إ ظ مَوَل تَ ن ك من هَو أَُ سَفَل نُُ َلَم روا إ ظ ن ا

Lihatlah orang yang berada di bawahmu (dalam urusan dunia), jangan melihat yang berada di atasmu” (HR Bukhari, No. 6490 dan Muslim, No. 2963)

sebagai pengingat untuk terus bersyukur dalam urusan dunia. Islam juga menyarankan apabila melihat kebaikan pada konten kehidupan orang lain di media sosial, akan lebih baik mengucap do’a keberkahan seperti “Barakallahufiik”, de meningkatkan kelapangan hati dan mengurangi rasa cemas.

Sebagai seorang muslim, penting sifatnya untuk menelaah rumusan masalah dalam teori psikologi seperti Cognitive Behavioral Theory yang dapat memicu virtual toxicity. Berdasarkan persepsi agama Islam yang telah dikaji sebelumnya, hal ini memberikan pandangan bahwa ada baiknya masyarakat mengesampingkan keburukan yang ada demi kebersihan jiwa.

Beberapa tindakan terkait mengurangi virtual toxicity lainnya adalah melalui digital minimalism, yaitu meminimalisir asupan digital yang berimbas pada keburukan. Beberapa penelitian terkait juga mengungkapkan bahwa melakukan mute pada akun atau konten yang dianggap membuat tidak nyaman dapat menjadi alternatif untuk meningkatkan rasa percaya diri dan kesehatan mental.

Sebagai seorang muslim baiknya untuk memanfaatkan media sosial sebagai wadah untuk mengisi aspirasi positif, seperti dakwah, atau motivasi yang meningkatkan kemampuan diri, sehingga media sosial tak hanya menjadi wadah positif secara sepihak namun juga memberi manfaat kepada orang lain, dan tentunya mengurangi dampak gangguan mental yang berpotensi terjadi.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *