Beyond Self Care: Sebuah Perspektif yang Terlupakan di Era Self-Help

by:Yudithia Himawati

Di tengah ramainya tren self-care, pernahkah kita bertanya: Apakah “ketenangan” yang kita cari selama ini hanya sekadar menghilangkan gejala stres, bukan menyembuhkan jiwa? Kita hidup di era di mana kecemasan dianggap sebagai “penyakit biasa”. Obat antidepresan, sesi terapi mahal, atau digital detox menjadi solusi andalan. Tapi, ada yang mengganjal. Mengapa angka depresi dan rasa hampa justru meningkat, meski akses ke layanan kesehatan mental semakin mudah?

Statistik mengungkapkan ironi ini. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, lebih dari 19 juta penduduk Indonesia berusia di atas 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta di antaranya mengalami depresi. Angka ini terus meningkat meski kesadaran akan kesehatan mental semakin luas. Selama pandemi COVID-19, survei KemenPPPA mencatat bahwa 4,6% remaja melaporkan gejala kecemasan, depresi, atau kesulitan berkonsentrasi. Namun, hanya 2% dari mereka yang benar-benar mencari bantuan profesional.

Fakta ini menunjukkan bahwa solusi konvensional seperti terapi atau obat-obatan belum sepenuhnya menjawab kebutuhan jiwa manusia. Bisa jadi, kita lupa bahwa manusia bukan mesin. Kita memiliki dimensi spiritual yang tak bisa diabaikan.

Dimensi Spiritual yang Terlupakan

Bagi seorang Muslim, kesehatan mental bukan hanya soal mengelola emosi, tapi juga menyelaraskan diri dengan fitrah sebagai hamba Allah. Allah SWT telah berfirman:

أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلْقُلُوبُ

“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (QS Ar-Ra’d: 28).

Ayat ini bukan sekadar metafora. Sains modern membuktikan bahwa ritual ibadah seperti shalat yang khusyuk dapat merangsang produksi serotonin (Tang, Ho lzel, & Posner, 2015). Sedekah terbukti mengurangi hormon stres kortisol (Dunn, Aknin, & Norton, 2008), sementara puasa mengaktifkan autofagi yang membantu membersihkan sel-sel otak (Longo & Mattson, 2014).

Namun, spiritualitas Islam bukan sekadar “obat”. Ini adalah kerangka hidup yang menjawab pertanyaan eksistensial penyebab kecemasan: “Apa tujuan hidup saya?” terjawab dalam QS. Adz-Dzariyat: 56:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”

Self-Care Tidak Harus Terpisah dari Ketaatan

Fenomena menarik muncul di kalangan generasi muda. Ada yang rajin shalat tahajud, tapi tetap merasa burnout. Ada pula yang rutin konseling psikolog, tetapi masih merasa hidupnya hampa. Barangkali ini terjadi karena kita sering memisahkan antara “kesehatan mental” dan “ketaatan” seolah keduanya tak berkaitan.

Contohnya, seorang wanita karier yang depresi akibat tekanan kerja mungkin terbantu dengan terapi kognitif untuk mengatur waktu. Namun, ia baru benar-benar menemukan kedamaian ketika memahami konsep rizki yang dijamin Allah:

۞ وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِى ٱلْأَرْضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۚ كُلٌّ فِى كِتَٰبٍ مُّبِينٍ

Dan tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS Hud: 5)

sehingga ia tidak perlu mengorbankan jiwa demi ambisi duniawi.

Atau seorang remaja yang kecanduan game online. Program detoks digital mungkin berhasil mengurangi screentime-nya, tetapi kecanduan baru muncul ketika ia tidak memiliki tujuan hidup yang jelas:

ࣙالَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيٰوةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلًاۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفُوْرُۙ

Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun.” (QS Al-Mulk: 2).

Bukan Anti-Sains, Tapi Melengkapi

Tulisan ini bukan ajakan untuk menolak psikologi modern, melainkan untuk mengintegrasikannya dengan nilai-nilai spiritual. Seperti yang dikatakan Imam Al Ghazali, “Ilmu tanpa spiritualitas buta, spiritualitas tanpa ilmu lumpuh.”

Call to Action: Mulai dari Diri Sendiri

Mulailah melihat kecemasan bukan sebagai lawan, melainkan sebagai alarm dari jiwa yang merindukan koneksi dengan Penciptanya. Sebelum memesan sesi terapi mahal, tanyakan pada diri sendiri:

1. Sudahkah saya merutinkan dzikir pagi-petang untuk mengisi “baterai spiritual”?

2. Apakah shalat saya sekadar gerakan, atau benar-benar menjadi therapy session

dengan Allah?

3. Sudahkah saya memaknai masalah sebagai ujian untuk naik level iman?

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ ۝١٥٥

Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar,” (QS Al-Baqarah: 155)

Di dunia yang memuja produktivitas, Islam mengajarkan kita untuk berhenti sejenak dan merenung. Ketenangan sejati bukan berasal dari sempurnanya hidup, tetapi dari kesadaran bahwa kita tidak sendirian. Allah tidak pernah menjanjikan hidup tanpa ujian, tetapi Dia berjanji:

وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُۥ مَخْرَجًا

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan jalan keluar baginya” (QS Ath-Thalaq: 2).

Kesehatan mental bukan tentang menjadi sempurna, melainkan menemukan harmoni antara logika, emosi, dan keyakinan. Barangkali, yang benar-benar dibutuhkan jiwa kita bukan sekadar afirmasi positif. Jiwa ini rindu dzikir, rindu makna, rindu dialog dengan Rabb-nya.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *