Mentari Muharram
REDAKSI EHYAL STDI IMAM SYAFI’I JEMBER- Lontaran kata-kata yang menyakitkan hati sudah menjadi makananmu setiap hari. Tangis air mata pun sudah sering terjadi sampai kedua mata mulai mengering. Menjadi golongan minoritas membuatmu dibenci, dijauhi, dan diusir oleh mayoritas populasi. Maka bagimu, rumah adalah tempat ternyaman untuk mengurung diri agar terhindar dari segala konflik batin. Katamu, menjauh dari lingkungan masyarakat lebih selamat untuk mempertahankan prinsip daripada harus mendengar cibiran yang akan menggoyahkan komitmen diri. Hingga pilihanmu adalah lebih baik dijuluki anti sosial daripada harga diri direndahkan di hadapan publik. Demi mempertahankan syariat yang kini sudah dianggap asing. Lantas, benarkah begitu sikap dan mental kita sebagai seorang muslim?
*****
Pepatah Arab mengungkapkan, manusia itu bak gerombolan burung, sebagian akan mengikuti lainnya. Ya, sifat manusia itu seringkali mengikuti dan mencontoh mayoritas, bagaikan burung dalam satu kawanan. Kecenderungan ini membentuk opini massa bahwa pendapat yang menyalahi atau yang tidak sejalan dengan mereka merupakan pendapat yang keliru dan salah (baca: sesat). Al-Qur’an yang merupakan pedoman hidayah umat Islam justru mencela jumlah manusia dan memberitahukan di mana kebanyakan manusia itu berada dalam kesesatan dan kebatilan, sehingga parameter kebenaran bukan bergantung pada banyaknya jumlah. Allah ﷻ berfirman:
وَاِنْ تُطِعْ اَكْثَرَ مَنْ فِى الْاَرْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗ… ١١٦
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Al-An’am/6:116).
Nah, jika kita menemukan banyak orang yang hanyut dalam kebathilan dengan melanggar syariat, tidak konsisten dengan ajaran Rasulullah ﷺ, mengadakan hal-hal yang baru dalam perkara agama yang mana tidak ada dasarnya, dalam situasi tersebut, pendapat mereka harus kita tolak dan kita tidak boleh terbuai dengan jumlah besar mereka. Namun, apabila kita dihadapkan pada situasi di mana pandangan kita dianggap salah, aneh, karena dianggap minoritas sehingga kita mendapatkan cibiran, seperti disebut sesat, teroris, kadrun, wahabi dan sebagainya. Atau dalam perkara pakaian, di mana pengguna celana cingkrang dikatakan seperti habis kebanjiran; yang memelihara jenggot dipanggil kambing; pemakai hijab dianggap kampungan; dan yang mengenakan cadar dijuluki ninja Arab; padahal semua tindakan kita itu sejalan dengan syariat agama. Bagaimana seharusnya kita merespon situasi ini?
Apakah dengan bersedih? Tidak, kita harus selalu berusaha untuk bahagia. Kok bisa begitu? Jawabannya, sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda,
بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Islam datang dalam keadaan yang asing, akan kembali pula dalam keadaan asing. Sungguh beruntunglah orang yang asing.” (HR. Muslim no. 145)
Kita harus menjadi dewasa dengan belajar menjadi seorang muslim yang tegas, kuat, dan tidak baperan, karena berpegang teguh dengan ajaran Islam itu ibarat mengenggam bara api yang menyala-nyala. Biar berapapun ejekan, fitnah, muka sinis, dan prasangka buruk yang didapatkan, cukup kita respon dengan senyuman tanpa memasukkan perkataan mereka ke dalam hati. Sungguh, penilaian manusia hanya sepanjang lidahnya, sedangkan penilaian Allah membersamai kita sampai akhir ayat. Selain itu, menggapai semua rida manusia adalah tujuan yang tidak bisa didapatkan, sedangkan menggapai rida Allah itu tak sepatutnya kita tinggalkan.
Apakah dengan mengasingkan diri di hadapan masyarakat agar terhindar dari cibiran? Sementara kita yakin berada dalam kebenaran sedangkan mereka butuh penjelasan. Sementara kita mengetahui suatu ilmu sedangkan mereka awam terhadap hal tersebut. Akankah kita membiarkan perbuatan itu terus berulang tanpa perubahan? Apa hanya karena ‘patah’ kita justu memilih berdiam diri tanpa mengambil tindakan? Tidak, kita wajib menyampaikan ilmu walau satu ayat. Al-Quran telah menunjukkan dengan jelas tentang wajibnya berdakwah untuk mengajak manusia ke jalan Allah ﷻ bagi setiap muslim. Di antaranya Allah ﷻ berfirman,
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ ١٠٤
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran/3: 104)
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ ١٢٥
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS. An-Nahl/16: 125)
Berdakwah dengan hikmah di sini adalah dengan menggunakan kebijaksanaan yang harus disertai dengan ilmu. Komunikasi harus dilakukan dengan kata-kata yang baik, sopan, dan lembut. Sikap yang kasar dapat menyebabkan orang-orang tidak menyukai kebenaran dan tetap mempertahankan pendapat mereka yang keliru.
Dengan demikian, generasi terasing yang beruntung adalah mereka yang istikamah mengamalkan, mengajarkan agama Islam (berdakwah) dengan baik, dan menjauhi pemikiran-pemikiran yang menyimpang dari Al-Qur’an dan Sunnah. Mereka terasing karena ketaatannya kepada Allah ﷻ. Allah mencatat mereka sebagai orang yang beruntung dan akan mendapatkan tempat yang mulia di sisi-Nya yaitu jannah.
Semoga kita semua termasuk dalam golongan yang beruntung, terasingkan karena kebenaran. Aaamiin.
Sumber:
https://muslim.or.id/21266-yang-banyak-belum-tentu-benar.html
https://badilag.mahkamahagung.go.id/hikmah/publikasi/hikmah-badilag/generasi-yang-terasing-generasi-yang-beruntung-oleh-asep-parhanil-ibad-1912
Leave a Reply