Perpustakaan Islam yang Hilang: “Google-nya” Umat Islam di Abad Pertengahan

by: Senfeya

Sebelum ada Google, dunia Islam pernah memiliki pusat-pusat ilmu yang menampung jutaan manuskrip dalam berbagai bidang, mulai dari kedokteran, matematika, filsafat, hingga sastra. Perpustakaan-perpustakaan ini bukan hanya sekadar tempat penyimpanan buku, tetapi juga pusat riset dan inovasi yang menjadikan dunia Islam sebagai mercusuar ilmu pengetahuan selama berabad-abad.

Salah satu perpustakaan terbesar dalam sejarah Islam adalah Baitul Hikmah di Baghdad, yang didirikan pada abad ke-8 oleh Khalifah Harun al-Rasyid dan berkembang pesat di bawah kepemimpinan putranya, Al-Ma’mun. Perpustakaan ini bukan hanya tempat menyimpan buku, tetapi juga pusat penerjemahan, penelitian, dan diskusi ilmiah. Para pelajar dari seluruh penjuru negeri datang, belajar dari cendekiawan muslim di Baghdad, kemudian menerjemahkan banyak ilmu ke dalam bahasa mereka. Para ilmuwan seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Al-Khwarizmi tidak hanya membaca dan memahami teks-teks kuno, tetapi juga mengembangkan ilmu baru. Al-Khwarizmi, misalnya, mengembangkan konsep aljabar yang menjadi dasar bagi matematika modern.

Sayangnya, kejayaan ini berakhir tragis ketika Baghdad diserang oleh bangsa Mongol pada tahun 1258. Dikisahkan, banyak manuskrip yang dilemparkan ke Sungai Tigris hingga airnya berubah warna karena tinta buku-buku yang tenggelam. Ilmu yang tersimpan selama berabad-abad pun hilang dalam sekejap.

Selain Baghdad, Kairo juga pernah memiliki pusat ilmu yang tak kalah megah, yaitu Dar al-Ilm yang didirikan oleh Khalifah Fatimiyah, pada tahun 1005. Perpustakaan ini disebut-sebut memiliki lebih dari satu juta manuskrip, termasuk dalam bidang kedokteran, astronomi, hukum Islam, hingga sastra. Dar al-Ilm terbuka bagi siapa saja—tidak hanya para ulama dan cendekiawan, tetapi juga masyarakat umum yang ingin belajar. Hal ini menunjukkan betapa dunia Islam kala itu sangat menghargai ilmu pengetahuan dan akses yang luas bagi masyarakat. Sayangnya, perpustakaan ini juga mengalami kehancuran akibat pergolakan politik. Banyak koleksi berharganya hilang atau hancur, membuat dunia kehilangan salah satu warisan intelektual terbesar dalam sejarah Islam.

Kisah perpustakaan-perpustakaan Islam yang hilang ini mengingatkan kita akan pentingnya menjaga dan menyebarkan ilmu pengetahuan. Meski teknologi telah berkembang, semangat belajar dan meneliti yang pernah membangun peradaban Islam harus tetap kita hidupkan. Digitalisasi manuskrip dan penelitian akademis menjadi langkah penting agar warisan ilmu ini tidak kembali hilang.

Sebagai generasi penerus, kita bisa mengambil inspirasi dari Baitul Hikmah dan Dar al-Ilm dengan terus mencari ilmu, berdiskusi, dan mengembangkan pengetahuan. Siapa tahu, di masa depan, kita bisa menciptakan “Google” versi Islam yang lebih hebat dan berlandaskan nilai-nilai keilmuan Islam yang murni. 


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *