By: metime
REDAKSI EHYAL STDI IMAM SYAFI’I JEMBER-
Sepenggal kata mutiara yang terucap dari lisan salah satu asatidzah pondok pesantren Al-Umm, sebagai penyemangat untuk anak didiknya agar berlomba-lomba dalam kebaikan. “Kita harus selangkah lebih maju daripada orang lain” begitulah kutipan yang membuat Sarah terdecak kagum. Kata mutiara tersebut merasuk dalam hatinya dan dijadikannya motivasi dalam menjalani kehidupan. Ia berusaha agar menjadi inisiator pertama dalam melakukan kebaikan dan pelaksanaan kewajibannya. Ia berusaha untuk mengerjakan tugas jauh sebelum deadline yang diberikan. Kutipan tersebut menjadikan ambisinya begitu kuat untuk tidak ingin tertinggal oleh teman-temannya. Ia berusaha semaksimal mungkin untuk mengerahkan apa yang ia punya dalam menggapai tujuan yang sedang ingin ia capai.
Tibalah Sarah dalam dunia perkuliahan yang begitu kompleks. Dikelilingi oleh teman-teman sekelas dengan ambisi lebih tinggi dibandingkan dirinya. Hingga mulailah syaithon meniupkan kedengkian dalam hati Sarah, membuatnya merasa insecure dan ingin menyamai kemampuan teman-temannya. Muncullah tekad yang kuat untuk belajar lebih giat, rasa tidak ingin kalah terselubung dalam niatnya. Ia gunakan lebih banyak waktu untuk menyendiri agar dapat menghafal setiap detail materi yang dijelaskan. Siang hari yang kebanyakan manusia tidur, penat dan bersantai digunakannya untuk mengulang mata pelajaran.
Setiap kali teman-temannya lebih mengetahui dari apa yang ia ketahui, hatinya semakin memanas. Semangat belajar semakin gigih ia jalani, mendisiplinkan diri agar mampu meraih seperti apa yang bisa orang lain raih. Hari-hari berlalu dengan suasana hati yang tak kunjung puas akan belajar untuk menyamai pemahaman teman-temannya. Sarah mulai merasakan gejolak emosi yang sering kali memanas. Semangat belajar itu hanya bertahan sementara. Ia merasakan futhur dalam proses memahami ilmu. Ia kerap kali menangis, melawan rasa insecure, overthinking dan ambisi yang membuta. Membuat hatinya tertutup dalam kesengsaraan diatas nikmat orang lain.
Selang beberapa hari, Sarah merenung di pagi yang cerah. Meratapi hatinya yang tak kunjung tenang, ia merasa kehilangan nikmat dari keberkahan ilmu. “Ya Allah… mengapa hatiku tak merasakan lezatnya ilmu? kenapa aku tak dapat memahami pembelajaran dengan baik, padahal aku sudah giat belajar, aku juga sudah berusaha menghafal, tapi mengapa hafalan itu mudah sekali hilang?” benak Sarah sembari menyeka air mata di pelupuk matanya. Berkat kasih sayang Allah, Sarah mulai memperbaiki hubungannya dengan Sang Maha Pencipta. Perlahan Allah tata kembali hidup Sarah, setelah ia perbaiki sholatnya dan juga ibadah yang lain. Ia lebih sering mendengarkan kajian sebagai sarana untuk mengoreksi diri.
Sarah juga mengkhususkan waktu untuk menangis kepada Allah pada Jum’at sore, agar dirinya lebih tenang dalam mengeluhkan masalah dunia kepada Sang Pemilik Dunia itu sendiri. Karena mencurahkan hati kepada Allah tentang betapa beratnya beban dunia itu lebih baik daripada bercerita kepada makhluk. Hingga akhirnya Sarah tersadar bahwa niat yang ia jadikan landasan untuk belajar itu tidaklah tepat. Ia tidak menjadikan ikhlas untuk Allah sebagai landasan semangat belajar. Perlahan namun pasti, Sarah mulai mensyukuri kemampuan yang ia miliki tanpa membandingkannya dengan kemampuan orang lain. Mungkin orang lain terlihat sempurna di mata Sarah, karena mereka pandai untuk tidak mengeluhkan masalahnya di hadapannya.
Renungan hati untuk kita semua, belajarlah untuk Allah, agar kita memahami dan dimudahkan dalam mengamalkan. Setiap dari kita punya keistimewaan tersendiri, terlepas dari kekurangan yang menjadi pewarna keseharian kita. Sekeras apa pun kita berusaha tak akan pernah bisa menjadikan diri ini sempurna. Kita ditakdirkan hidup bersama ketidak sempurnaan agar tidak merasa tinggi hati dan merendahkan yang lain. Pada akhirnya, cara terbaik untuk menyempurnakan hidup adalah dengan mencintai ketidak sempurnaan dan bersyukur.
Leave a Reply