By: navyaqua
REDAKSI EHYAL STDI IMAM SYAFI’I JEMBER-
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الغَضَبِ
Abu Hurairah -raḍiyallāhu ‘anhu- meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
“Orang kuat itu bukanlah yang menang dalam bergulat. Sesungguhnya orang kuat ialah siapa yang dapat menahan dirinya ketika marah.“(HR. Bukhari, 6114)
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan anugrah berupa perasaan dalam diri manusia. Perasaan-perasaan tersebut dapat menjadi ladang pahala jika diarahkan untuk hal-hal yang diridhoi Allah dan Rasul-Nya. Salah satu perasaan yang dimiliki manusia adalah marah.
Sebagaimana yang kita ketahui, marah adalah suatu respon seseorang terhadap hal-hal yang dianggap melanggar nilai prinsip seseorang. Dalam hadis di atas, Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa orang yang kuat bukanlah yang menang dalam bergulat, melainkan orang yang dapat menahan dirinya ketika marah. Mengapa demikian? Dikarenakan marah ibarat dua sisi mata pisau. Ada kondisi yang dibolehkan seseorang marah atasnya seperti ketika melihat kemungkaran. Adapun kondisi selain itu, maka perasaan marah tersebut perlu dikendalikan. Dalam hadis di atas juga dijelaskan bahwa menahan nafsu marah lebih sulit dari melawan musuh. Karena Rasulullah ﷺ mengatakan bahwa ciri-ciri orang yang kuat adalah yang dapat menahan amarahnya.
Beberapa solusi dari syariat untuk mengendalikan marah adalah:
- Jika marah dalam keadaan berdiri, maka cobalah untuk duduk. Jika tidak berhasil, maka dianjurkan untuk berbaring.
Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ dalam hadisnya:
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ ، فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ ، وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ.
“Apabila salah seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri, hendaklah ia duduk. Apabila amarah telah pergi darinya, (maka itu baik baginya). Jika belum, hendaklah ia berbaring” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban)
- Membaca ta’awudz
Diriwayatkan dari Sulaiman bin Shurod radhiyallahu’anhu:
كُنْتُ جَالِسًا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجُلاَنِ يَسْتَبَّانِ، فَأَحَدُهُمَا احْمَرَّ وَجْهُهُ، وَانْتَفَخَتْ أَوْدَاجُهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” إِنِّي لَأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا ذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ، لَوْ قَالَ: أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ، ذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ “
“Pada suatu hari aku duduk bersama-sama Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam sedang dua orang lelaki sedang saling mengeluarkan kata-kata kotor satu dan lainnya. Salah seorang daripadanya telah merah mukanya dan tegang pula urat lehernya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Sesungguhnya aku tahu satu perkataan sekiranya dibaca tentu hilang rasa marahnya jika sekiranya ia mau membaca, ‘A’udzubillahi minas-syaitani’ (Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan), niscaya hilang kemarahan yang dialaminya.” (HR Bukhari, no. 3282)
Hadis tersebut menjelaskan dengan gamblang bahwa membaca ta’awudz saat sedang marah dapat menghilangkan amarah tersebut. Karena rasa marah yang bukan karena melihat suatu kemungkaran tidak lain datangnya dari syaithan. Mengingat efek dari marah yang bisa menciptakan keretakan dalam suatu hubungan bahkan mendatangkan kerusakan.
- Diam
Amarah dapat memicu perkataan-perkataan yang tidak diridhoi Allah. Baik itu berupa kalimat kufur, cacian, ataupun laknat yang dapat merusak hubungan orang tersebut dengan manusia lainnya. Sehingga Rasulullah mengarahkan umatnya untuk diam saat amarah mereka memuncak:
وَ إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ
“Jika salah seorang di antara kalian marah, diamlah.” (HR. Ahmad, 1: 239. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan lighairihi)
- Mengingat keutamaan dalam menahan amarah
Allah Ta’ala berfirman ketika menjelaskan sifat orang-orang yang bertakwa dalam surat Al-‘Imran ayat 134:
ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلۡكَٰظِمِينَ ٱلۡغَيۡظَ وَٱلۡعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ
“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”
Rasulullah ﷺ bersabda,
مَنْ كَظَمَ غَيْظًا – وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ – دَعَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللَّهُ مِنَ الْحُورِ مَا شَاءَ
“Siapa yang dapat menahan marahnya padahal ia mampu untuk meluapkannya, maka Allah akan memanggilnya di hadapan para makhluk pada hari kiamat sehingga orang itu memilih bidadari cantik sesuka hatinya.” (HR. Abu Daud no. 4777 dan Ibnu Majah no. 4186. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Ketika kita mengingat dua dalil di atas, ataupun dalil lainnya tentang keutamaan dalam menahan amarah, maka itu akan membuat kita lebih berhati-hati dalam sikap maupun kata-kata saat sedang dalam kondisi marah.
Hal-hal yang telah disebutkan di atas adalah beberapa solusi ketika seseorang sedang diliputi amarah yang berkemungkinan mengundang hal-hal yang sifatnya merusak atau menghancurkan suatu hubungan di sekitarnya.
Wallahu a’lam bis shawab.
Sumber:
https://rumaysho.com/16156-5-kiat-meredam-marah.html
https://rumaysho.com/13685-renungan-06-rajin-bersedekah-mudah-memaafkan-dan-menahan-marah.html
Leave a Reply