Dy
REDAKSI EHYAL STDI IMAM SYAFI’I JEMBER- Siapa kita di dunia yang tidak sempurna? Mengapa kerap menuntut diri untuk selalu tampil sempurna? Apa yang sejatinya kita inginkan? Perlakuan baik? Diterima oleh orang lain? Pengakuan bahwa kita hebat? Siapa kita sebenarnya di dunia yang sederhana? Terlalu rumit angan kita untuk bahagia. Segudang emas? Miliaran hingga triliunan uang? Bisakah kita membeli bahagia? Nahasnya, rasa tamak membelenggu untuk ‘berterimakasih’. Kita perlahan kehilangan banyak hal sederhana dalam hidup dan mulai teralihkan pada hal-hal rumit yang sarat akan nilai dan pembelajaran.
Sudah kah kita mencintai diri sendiri? Sudahkah kita benar-benar mengenalnya? Di antara banyak pengakuan cinta yang kita dengar, pernah kah kita bersikap jujur dengan diri kita sendiri? Tentang apa yang kita butuhkan dan tidak, tentang apa yang kita sukai maupun tidak sukai, tentang kelebihan serta kekurangan diri, tentang pengakuan kesalahan yang ingin kita perbaiki. Tentang bagaimana, kita ingin menjadi orang lain. Tentang bagaimana mereka selalu nampak menawan di mata kita. Lalu diri? Mencoba mencari pelarian, mencoba menyukai apa yang orang lain sukai padahal kita tidak, mencoba berbicara tentang apa yang ingin mereka dengar.
Padahal kesempurnaan bukanlah milik kita seorang hamba. Padahal yang seharusnya kita proritaskan bukanlah pandangan manusia. Sehebat apapun kita, secerdas apapun, kita masih seorang hamba dan tetap seperti itu. Siapa kita? Kita hanya seorang hamba yang ditundukkan oleh Penguasa langit dan bumi? Lantas, masih adakah dunia di mata kita? Saat Tuhan kita telah jelas-jelas menghinakannya. Dunia begitu sederhana, pagi hari kita terbangun lalu malam kembali tertidur. Kita bekerja dan belajar dengan sangat keras untuk memenuhi apa yang kita butuhkan pada hari itu. Kita mencoba mencukupi hari dan mempersiapkan bekal, bukan menimbun sesuatu yang tidak mungkin dibawa di masa depan. Sungguh, itu sangat berat. Dan sungguh itu sangat berat. Kecuali ilmu dan takwa. Mereka adalah perbekalan terbaik layaknya air yang mampu menghapus dahaga, yang tanpanya seseorang tidak akan mampu bertahan melebihi dari beberapa jam. Mereka adalah pakaian terbaik melebihi gaun para ratu dan raja.
يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ قَدْ اَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُّوَارِيْ سَوْءٰتِكُمْ وَرِيْشًاۗ وَلِبَاسُ التَّقْوٰى ذٰلِكَ خَيْرٌۗ ذٰلِكَ مِنْ اٰيٰتِ اللّٰهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُوْنَ
Wahai anak cucu Adam, sungguh Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan bulu (sebagai bahan pakaian untuk menghias diri). (Akan tetapi,) pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu merupakan sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Allah agar mereka selalu ingat. (Al-A‘rāf [7]:26)
وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوْنِ يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ
Berbekallah karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat. (Al-Baqoroh [2]: 197)
Padahal mencintai diri sendiri sama artinya dengan penerimaan. Cinta tanpa syarat yang ingin kita dapatkan dari orang lain, adalah cinta yang seharusnya kita suguhkan pada diri sendiri. Sebelum orang lain menerimanya, kita harus memberikan itu pada diri sendiri. ‘Aku’ juga ingin dicintai, ‘Aku’ juga kadang letih dengan cekikan paksaan. ‘Aku’ juga ingin dianggap ada dan dibanggakan, bukan malah sebaliknya, ‘Aku’ mendambakan diri yang lain.
Mengenal diri sendiri adalah bentuk penerimaan. Saat kita mengenal dan menerima sisi gelap dalam diri kita, maka kita akan mencoba berkawan dan memperbaikinya, sedikit demi sedikit. Dan proses itu tidak akan terjadi jika kita tidak menerimanya. Menerimanya sama dengan harus mengenalnya.
Kita ingin cinta tak bersyarat. Cinta yang kadarnya tidak dihitung oleh seberapa cerdas kita, seberapa banyak penghargaan yang kita peroleh, seberapa banyak uang yang kita miliki, seberapa cantik atau tampan diri kita. Kita ingin diri kita dicintai dengan apa adanya. “Aku ingin mencintai diriku sendiri apa adanya aku.” Masalahnya, kita acapkali mengukur cinta yang kita miliki atau terima. Kita selalu mengukurnya, dan begitulah mengapa kita selalu merasa kekurangan cinta.
Saat melakukan kesalahan juga, kita lebih sulit memaafkan diri sendiri ketimbang orang lain. Padahal, diri juga butuh dimaafkan. Kita butuh jeda untuk memperbaiki semuanya. Diri kita ingin diberikan kesempatan dan kepercayaan. Maka itu, mari belajar untuk tidak bersikap keras terhadap diri sendiri. Diri mari beri ‘Aku’ kesempatan kedua.
Leave a Reply